Minggu, 17 Januari 2016

Menanti rasa yang terkenang

Ada pepatah yang menyatakan bahwa lebih banyak belajar dari sebuah pengalaman, yang secara tidak langsung saya mempersepsikan hal tersebut dengan membandingkan suatu kejadian dimasa lalu yang kemudian saya tuntut untuk hari ini dilakukan dengan hal yang semi atau bahkan lebih indah. Pagi bergulir menyambut petang, angin meniup segar kebebasan, yaa.. kebebasan saya menganalisa beberapa kejadian yang mengganjal dipikiran saya. Sesosok yang seharusnya indah namun terhalang sebuah ekspektasi yang begitu membuat saya terlena hingga meninggalkan sosok tersebut. Dan ketika hari-hari yang "sama" terlewati, tidak luput hati ini menyerukan "dulu sangat indah". Hal tersebut membuat hati saya bergejolak, saya memprotect diri dengan mengeluarkan bisik kebencian dengan alasan tidak terima akan perlakuan hari itu. Namun di sisi sebaliknya saya mulai memanipulasi pikiran dan hati saya bahwa setiap orang mencintai dengan cara dan perilaku yang ditunjukan dengan berbeda pula.
1 - 2 bulan sampai bulan-bulan berikutnya juga masih sama pada persoalan yang sama, dan dengan manipulasi pertahanan yang sama. Sampai rasanya seperti sudah tidak ada ruang untuk meluapkan hal tersebut.
"No boy no cry". Sudah mulai bosan dengan rintihan air mata yang kian membuat keputus asaan. Hari ini kembali saya menyerukan sikap dalam diri bahwa aku bukanlah sang humor seperti apa yang diinginkan, menjadi sosok humor bukanlah merupakan hari-hari kepribadianku. Tidak, tidak akan aku bercerita pada dinding nyaring yang pernah mengingatkan ku pada ketidakpantasanku untuk kembali karena pertikaian di malam itu.
Cukup sayup-sayup suara yang menceritakan keberadaanku sambil berkata "betapa malang nasib gadis ini"

Sabtu, 09 Januari 2016

Catatan kegelisahan

Saya hanya ingin bercerita, entah pada siapa dan bagaimana akan cara penyampaian saya saat ini. Benar-benar hari yang kian gelap. Beberapa hari terkapar dirumah, hanya dapat menerima message dari sahabat-sahabat. Walaupun celotehan-celotehan itu sempat memberikan percikan dalam pikiran, tapi hati kecil saya tak pernah takut untuk tersenyum, saya pun membuat premis dalam pikiran bahwa mereka tak ingin larut dalam kegundahan yang saya ceritakan.
Namun beberapa hari ini ada sesuatu hal yang benar-benar membuat pikiran saya semakin merintih, perihal catatan saya mengenai arti kata sebuah persahabatan/teman/kakak ketemu gede/ adik ketemu gede.
Saya menatap langit-langit kamar, mengingat kejadian-kejadian yang sempat saya lukiskan disetiap harinya saya bertemu dengan dia ( sebut saja malam). Hampir setiap hari kami bertemu, berjalan di pesisir sambil menikmati sang senja, kami bertukar sudut pandang hingga hanyut dalam sebuah pertikaian.
Sempat kami katakan bahwa kami sedekat nadi, bak bersaudara dengan muka semu. Seperti namanya sang malam, hanya gelap yang nampak dalam pandangan mata.
Mungkin arti teman dalam kehidupannya hanya sebatas perkenalan tanpa pembalasan identitas yang jelas. Tapi tidak sesederhana itu pengertian seorang teman baginya. Masih terasa nyiur angin yang sempat menjatuhkanku dari lamunan saat itu, masih hangat kata-kata yang hendak menjelaskan arti kehidupannya yang penuh pembalasan. Sehina itukah kata maaf setelah perdebatan yang kita lalui? Bahkan gelisah saya saat itu mengarah pada situasi yang tak pernah mereka sampaikan.
Hmm nampaknya takdir membiarkanku untuk membuat persepsi arti sebuah kepercayaan itu diberikan hanya untuk di ikhlaskan. Tanpa memahami lebih dalam bagaimana piring yang pernah terhempas kembali menyatu menjadi wadah nasi bagi penikmatnya.