Rabu, 16 Maret 2016

Aku Bodoh

Suatu hari aku bergegas melaksanakan kewajiban sebagaimana seorang karyawan yang melaksanakan tugas dari atasannya walau bukan untuk seonggok uang, aku belajar mengerti arti sebuah tanggung jawab. Riuh pikuk enggan bertemu sanak saudara yang tak berpenghuni itu, tidak lepas senyum bibir menghangatkan suasana. Malam itu telah menjadi cerita panjang yang ku kenang hampir setiap harinya, bertemu seseorang yang pernah ku kagumi melalui cerita orang.
Jatuh cinta hendak menyelimuti senyumanku hingga kami larut dalam sepenggal cerita tangis dan tawa selama 445 hari. Tanpa terasa aku semakin jauh dan tak mampu menggubris adanya sesuatu yang mulai memberontak dalam diri. Nampaknya logika, hati dan sikapku mulai membentuk wajah semu dalam hidupku, ya sebuah kemunafikan dalam diri untuk mencintai seseorang. Aku memutuskan untuk pergi bercerita dibawah pohon yang ku percaya dapat melindungiku dari kemurkaan hujan, ku curahkan seluruh hatiku tanpa kusadari  aku tlah berada bersama akar pohon itu. Jauh di dalam, begitu pekat dan sumuk.
Ku curahkan seluruh air mataku, memberontak akan kediamanku selama ini. "Aku lah yang bodoh! Bagaimana bisa aku terhanyut dalam cerita yang dibuatnya terlalu dongkol untuk ku mengerti!". 
Untuk apa ia bercerita pada angin jika ia tak ingin menjatuhkan daun dari pepohonan itu? Ku rasa memang sia-sia selama ini aku yang berdiri diatas rasa sakit ku sendiri untuk menerimanya sebagai kawan. Mengukir banyak cerita bersama kehampaan yang mereka ciptakan. Terimakasih telah membuat relung semu yang sudah ku hirup habis bersama cerita yang kau anggap sebuah pengorbanan besar untuk menutupi masalalumu dengannya. Walau kini sudah terbukti, bahwa aku terlalu lelap memupuk cerita pengkhianatan antara kau dengannya.
Ia mantan pacarmu yang kau sulap menjadi seorang sahabat, dan membuatku menjadi terlihat begitu bodoh dan lemah karena wajah semu yang kau perlihatkan sebagai sosok orang dewasa dan berkorban akan banyak hal agar dicintai banyak orang untuk menutupi perasaan sebagai seseorang yang pernah berarti dalam hidupnya. Terimakasih..
13/3/2016

Minggu, 17 Januari 2016

Menanti rasa yang terkenang

Ada pepatah yang menyatakan bahwa lebih banyak belajar dari sebuah pengalaman, yang secara tidak langsung saya mempersepsikan hal tersebut dengan membandingkan suatu kejadian dimasa lalu yang kemudian saya tuntut untuk hari ini dilakukan dengan hal yang semi atau bahkan lebih indah. Pagi bergulir menyambut petang, angin meniup segar kebebasan, yaa.. kebebasan saya menganalisa beberapa kejadian yang mengganjal dipikiran saya. Sesosok yang seharusnya indah namun terhalang sebuah ekspektasi yang begitu membuat saya terlena hingga meninggalkan sosok tersebut. Dan ketika hari-hari yang "sama" terlewati, tidak luput hati ini menyerukan "dulu sangat indah". Hal tersebut membuat hati saya bergejolak, saya memprotect diri dengan mengeluarkan bisik kebencian dengan alasan tidak terima akan perlakuan hari itu. Namun di sisi sebaliknya saya mulai memanipulasi pikiran dan hati saya bahwa setiap orang mencintai dengan cara dan perilaku yang ditunjukan dengan berbeda pula.
1 - 2 bulan sampai bulan-bulan berikutnya juga masih sama pada persoalan yang sama, dan dengan manipulasi pertahanan yang sama. Sampai rasanya seperti sudah tidak ada ruang untuk meluapkan hal tersebut.
"No boy no cry". Sudah mulai bosan dengan rintihan air mata yang kian membuat keputus asaan. Hari ini kembali saya menyerukan sikap dalam diri bahwa aku bukanlah sang humor seperti apa yang diinginkan, menjadi sosok humor bukanlah merupakan hari-hari kepribadianku. Tidak, tidak akan aku bercerita pada dinding nyaring yang pernah mengingatkan ku pada ketidakpantasanku untuk kembali karena pertikaian di malam itu.
Cukup sayup-sayup suara yang menceritakan keberadaanku sambil berkata "betapa malang nasib gadis ini"

Sabtu, 09 Januari 2016

Catatan kegelisahan

Saya hanya ingin bercerita, entah pada siapa dan bagaimana akan cara penyampaian saya saat ini. Benar-benar hari yang kian gelap. Beberapa hari terkapar dirumah, hanya dapat menerima message dari sahabat-sahabat. Walaupun celotehan-celotehan itu sempat memberikan percikan dalam pikiran, tapi hati kecil saya tak pernah takut untuk tersenyum, saya pun membuat premis dalam pikiran bahwa mereka tak ingin larut dalam kegundahan yang saya ceritakan.
Namun beberapa hari ini ada sesuatu hal yang benar-benar membuat pikiran saya semakin merintih, perihal catatan saya mengenai arti kata sebuah persahabatan/teman/kakak ketemu gede/ adik ketemu gede.
Saya menatap langit-langit kamar, mengingat kejadian-kejadian yang sempat saya lukiskan disetiap harinya saya bertemu dengan dia ( sebut saja malam). Hampir setiap hari kami bertemu, berjalan di pesisir sambil menikmati sang senja, kami bertukar sudut pandang hingga hanyut dalam sebuah pertikaian.
Sempat kami katakan bahwa kami sedekat nadi, bak bersaudara dengan muka semu. Seperti namanya sang malam, hanya gelap yang nampak dalam pandangan mata.
Mungkin arti teman dalam kehidupannya hanya sebatas perkenalan tanpa pembalasan identitas yang jelas. Tapi tidak sesederhana itu pengertian seorang teman baginya. Masih terasa nyiur angin yang sempat menjatuhkanku dari lamunan saat itu, masih hangat kata-kata yang hendak menjelaskan arti kehidupannya yang penuh pembalasan. Sehina itukah kata maaf setelah perdebatan yang kita lalui? Bahkan gelisah saya saat itu mengarah pada situasi yang tak pernah mereka sampaikan.
Hmm nampaknya takdir membiarkanku untuk membuat persepsi arti sebuah kepercayaan itu diberikan hanya untuk di ikhlaskan. Tanpa memahami lebih dalam bagaimana piring yang pernah terhempas kembali menyatu menjadi wadah nasi bagi penikmatnya.